Selasa, 29 Mei 2012

Hak Cipta dan Lembaga Sensor Film



   
Hak Cipta

   A.    Pengertian Umum Hak Cipta
            “Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, yang antara lain dapat terdiri dari buku, program komputer, ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu, serta hak terkait dengan hak cipta. Rekaman suara dan/atau gambar pertunjukan seorang pelaku, misalnya seorang penyanyi atau penari diatas panggung, merupakan hak terkait yang dilindungi hak cipta[1].

Berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1, yang dimaksud dengan Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Terdapat dua unsur penting yang terkandung dalam rumusan pengertian hak cipta yang termuat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002, yaitu[2]:
   1.       Hak yang dapat dipindahkan atau dialihkan kepada pihak lain.
  2. Hak moral yang dalam keadaan bagaimanapun dan dengan jalan apapun tidak dapat ditinggalkan daripadanya, seperti mengumumkan karyanya, menetapkan judulnya, mencantumkan nama sebenarnya atau nama samarannya dan mempertahankan keutuhan atau integritas ceritanya.

Hak cipta mengandung beberapa prinsip dasar (basic principles) yang secara konseptual digunakan sebagai landasan pengaturan hak cipta di semua negara, baik itu yang menganut Civil Law System (sistem hukum tertulis) maupun Common Law System (sistem hukum tidak tertulis, berdasarkan adat dan norma yang berlaku). Beberapa prinsip yang dimaksud adalah[3]:
    1.    Yang dilindungi hak cipta adalah ide yang telah berwujud dan asli. Prinsip ini adalah prinsip yang paling mendasar dari perlindungan hak cipta, maksudnya yaitu bahwa hak cipta hanya berkenaan dengan bentuk perwujudan dari suatu ciptaan. Prinsip ini dapat diturunkan menjadi beberapa prinsip lain sebagai prinsip-prinsip yang berada lebih rendah atau sub-principles, yaitu:
a.       Suatu ciptaan harus mempunyai keaslian (orisinil) untuk dapat menikmati hak-hak yang diberikan oleh Undang-undang. Keaslian sangat erat hubungannya dengan bentuk perwujudan suatu ciptaan.
b.      Suatu ciptaan mempunyai hak cipta jika ciptaan yang bersangkutan diwujudkan dalam bentuk tulisan atau bentuk material yang lain, ini berarti suatu ide atau pemikiran belum merupakan suatu ciptaan.
c.       Karena hak cipta adalah hak eksklusif dari pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, hal tersebut berarti bahwa tidak ada orang lain yang boleh melakukan hak tersebut tanpa seijin pencipta atau pemegang hak cipta.
     2.     Hak cipta timbul dengan sendirinya (otomatis)
     3.    Suatu hak cipta akan eksis pada saat seorang pencipta mewujudkan idenya dalam bentuk yang berwujud, dengan adanya wujud dari suatu ide maka suatu ciptaan akan lahir dengan sendirinya. Ciptaan tersebut dapat diumumkan atau tidak diumumkan, tetapi jika suatu ciptaan tidak diumumkan maka hak ciptanya tetap ada pada pencipta.
     4.    Suatu ciptaan tidak selalu perlu diumumkan untuk memperoleh suatu hak cipta
   5. Hak cipta suatu ciptaan merupakan suatu hak yang diakui hukum yang harus dipisahkan dan harus dibedakan dari penguasaan fisik suatu ciptaan.
     6.     Hak cipta bukan hak mutlak
Hak cipta bukan merupakan suatu monopoli mutlak melainkan hanya suatu monopoli terbatas. Hak cipta yang secara konseptual tidak mengenal konsep monopoli penuh, sebab mungkin saja seorang pencipta menciptakan suatu ciptaan yang sama dengan ciptaan yang telah tercipta lebih dahulu, dengan syarat tidak terjadi suatu bentuk peniruan atau plagiat secara murni.


B.     Ruang Lingkup Hak Cipta


1.      Hak Cipta sebagai Hak Eksklusif
Beberapa hak eksklusif yang umumnya diberikan kepada pemegang hak cipta adalah hak untuk:
  • membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut (termasuk, pada umumnya, salinan elektronik),
  • mengimpor dan mengekspor ciptaan,
  • menciptakan karya turunan atau derivatif atas ciptaan (mengadaptasi ciptaan),
  • menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum, menjual atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada orang atau pihak lain.
Yang dimaksud dengan "hak eksklusif" dalam hal ini adalah bahwa hanya pemegang hak ciptalah yang bebas melaksanakan hak cipta tersebut, sementara orang atau pihak lain dilarang melaksanakan hak cipta tersebut tanpa persetujuan pemegang hak cipta.
Di Indonesia, hak eksklusif pemegang hak cipta termasuk kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun
         2.      Hak ekonomi dan hak moral
Hak cipta di Indonesia juga mengenal konsep "hak ekonomi" dan "hak moral". Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan. Contoh pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada ciptaan, walaupun misalnya hak cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual untuk dimanfaatkan pihak lain. Hak moral diatur dalam pasal 24–26 bagian ke tujuh Undang-undang Hak Cipta.
                C.    Ciptaan yang dilindungi
Dalam Undang-undang nomor 19 tahun 2002 pasal 12-13 bagian ke-empat tentang ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:
  • buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
  • ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
  • alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
  • lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
  • drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
  • seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
  • arsitektur;
  • peta;
  • seni batik;
  • fotografi;
  • sinematografi;
  • terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan. 

Istilah-istilah terkait hak cipta yang sering dipakai yaitu :
  1. Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
  2. Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.
  3. Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan alat apa pun termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apa pun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.
  4. Perbanyakan adalah penambahan jumlah sesuatu ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer.
  5. Potret adalah gambar hasil dokumentasi atau pengabadian suatu objek/figur
        D.    Pembatasan Hak Cipta
Hak cipta merupakan hak istimewa yang hanya dimiliki oleh pencipta atau pemegang hak cipta. Penggunaan atau pemanfaatannya hendaknya berfungsi sosial. Hal ini dikarenakan adanya pembatasan-pembatasan tertentu yang diatur dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Hasil karya cipta atau ciptaan bukan saja hanya dapat dinikmati oleh penciptanya saja, tetapi juga dapat dinikmati, dimanfaatkan, dan digunakan oleh masyarakat luas, sehingga ciptaan itu mempunyai nilai guna, disamping nilai moral dan ekonomis.
Pembatasan terhadap penggunaan hak cipta berikutnya dapat dilihat dalam pasal-pasal berikut ini:
1.      Pasal 14 Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002. Pasal-pasal tersebut menyebutkan pembatasan mengenai penggunaan hak cipta dengan tanpa syarat , yaitu[4]:
a)                   Lambang negara dan lagu kebangsaan.
b)                  Segala sesuatau yang diumumkan dan/atau diperbanyak oleh pemerintah.
c)                   Berita aktual.
2.      Pasal 16 Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 yang mengatur lisensi wajib (compulsory licensing). Fungsi sosial hak cipta  secara efektif akan lebih mudah dilaksanakan melalui mekanisme lisensi wajib.

Pembatasan-pembatasan menurut Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002  bertujuan agar setiap penggunaan hak cipta harus sesuai dengan tujuannya. Pembatasan hak cipta bertujuan agar setiap orang atau badan hukum tidak menggunakan haknya secara sewenang-wenang. Setiap penggunaan hak cipta harus diperhatikan terlebih dahulu apakah hal itu tidak bertentangan atau tidak merugikan kepentingan umum
Pembatasan terhadap hak cipta bukan berarti hak individu terhadap hak cipta akan terdesak oleh kepentingan umum. Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan, oleh karena itu kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan harus saling mengimbangi sehingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok yang hendak dicapai dalam pemanfaatan atau penggunaan hak cipta.

E.     Asosiasi Hak Cipta di Indonesia

Asosiasi Hak Cipta di Indonesia antara lain[5]:
  • KCI : Karya Cipta Indonesia
  • ASIRI : Asosiasi Indrustri Rekaman Indonesia
  • ASPILUKI : Asosiasi Piranti Lunak Indonesia
  • APMINDO : Asosiasi Pengusaha Musik Indonesia
  • ASIREFI : Asosiasi Rekaman Film Indonesia
  • PAPPRI : Persatuan Artis Penata Musik Rekaman Indonesia
  • IKAPI : Ikatan Penerbit Indonesia
  • MPA : Motion Picture Assosiation
  • BSA : Bussiness Sofware Assosiation




2. Lembaga Sensor Film
A. Pengertian Lembaga Sensor Film
Berdasarkan PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1994 TENTANG LEMBAGA SENSOR FILM BAB DUA bagian pertama, Lembaga Sensor Film merupakan lembaga nonstruktural untuk melakukan penyensoran film dan reklame film yang berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia.
B. Misi Lembaga Sensor Film
Misi LSF adalah untuk:

  1. Melindungi masyarakat dari dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh peredaran, pertunjukan dan/atau penayangan film dan reklame film;
  2. Secara arif turut mempersiapkan masyarakat memasuki era perubahan dengan tetap menghargai nilai moral dan kultural bangsa; dan
  3. Menjembatani keanekaragaman budaya, sehingga tercipta persepsi yang sama demi kesatuan dan persatuan bangsa.


C. Fungsi Lembaga Sensor Film

Fungsi Lembaga Sensor Film adalah

a.       Melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak negatif yang timbul dalam peredaran, pertunjukan dan atau penayangan film dan reklame film yang tidak sesuai dengan tujuan perfilman Indonesia.

b.      Memelihara tatanilai dan tatabudaya bangsa dalam bidang perfilman di Indonesia

c.       Memantau apresiasi masyarakat terhadap film dan reklame film yang diedarkan, dipertunjukkan dan menganalisis asil pemantauan untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan tugas penyensoran berikutnya.
D. Tugas Lembaga Sensor Film
Tugas lembaga sensor film yaitu sebagai berikut
  1. Meluluskan dengan atau tanpa potongan untuk SEMUA UMUR, REMAJA, dan DEWASA untuk penonton bioskop;
  2. Meluluskan dengan atau tanpa potongan untuk SEMUA UMUR, REMAJA, DEWASA untuk penonton televisi;
  3. Tidak meluluskan dengan catatan revisi, khusus untuk film Indonesia;
  4. Tidak meluluskan secara utuh
  5. Meluluskan tanpa potongan untuk film keperluan festival film dengan kategori ‘TERBATAS’ .
  6. Melakukan penyensoran terhadap film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan untuk umum.
  7. Meneliti tema, gambar, adegan, suara dan teks terjemahan dari suatu fil dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan, dan /atau ditayangkan
  8. Menilai layak tidaknya tema, gambar, adegan, suara dan teks terjemahan dari suatu film.
E. Kewenangan Lembaga Sensor Film
     Kewenangan lembaga sensor film yaitu
  1. meluluskan sepenuhnya suatu film dan reklame film untuk diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum;
  2. memotong atau menghapus bagian gambar, adegan, suara dan teks terjemahan dari suatu film dan reklame film yang tidak layak untuk dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum;
  3. menolak suatu film dan reklame film secara utuh untuk diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum;
  4. memberikan surat lulus sensor untuk setiap kopi film, trailer serta film iklan, dan tanda lulus sensor yang dibubuhkan pada reklame film, yang dinyatakan telah lulus sensor;
  5. membatalkan surat atau tanda lulus sensor untuk suatu film dan reklame film yang ditarik dari peredaran berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992;

    1. Pemerintah dapat menarik suatu film apabila dalam peredaran dan/atau pertunjukan dan/atau penayangannya ternyata menimbulkan gangguan terhadap keamanan, ketertiban, ketenteraman, atau keselarasan hidup masyarakat. Penjelasan Ayat (1) Maksud ketentuan ini adalah untuk memungkinkan Pemerintah dapat menarik suatu film dari peredaran, pertunjukan, dan/atau penayangan terhadap film yang telah lulus sensor apabila film yang bersangkutan ternyata menimbulkan gangguan keamanan, ketertiban, ketenteraman, atau keselarasan hidup masyarakat.

    1. Produser atau pemilik film yang terkena tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat melakukan pembelaan melalui saluran hukum. Penjelasan Ayat (2) Ayat ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada produser atau pemilik film yang merasa dirugikan untuk membela haknya dengan mengajukan gugatan terhadap Pemerintah melalui peradilan. Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Usaha Perfilman Apabila film yang diedarkan ternyata menimbulkan gangguan terhadap keamanan, ketertiban, ketenteraman atau keselarasan hidup masyarakat, film tersebut dapat ditarik dari peredaran oleh Menteri, setelah mendengar pertimbangan dan saran tertulis dari badan yang berfungsi memberikan pertimbangan dalam masalah perfilman. Pasal 42 ayat (2) Surat Keputusan Menteri Penerangan RI No. 215 Tahun 1994 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penyelengga- raan Usaha Perfilman Apabila film seluloid atau rekaman video yang diedarkan ternyata menimbulkan gangguan terhadap keamanan, ketertiban, ketenteraman atau keselarasan hidup masyarakat di seluruh atau di sebagian suatu wilayah edar, Kepala Kantor Wilayah Departemen Penerangan setempat mengusulkan kepada Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan untuk melarang pengedaran dan pertunjukan film seluloid atau pengedaran rekaman video tersebut diseluruh atau di sebagian wilayah edar yang bersangkutan.
  1. memberikan surat tidak lulus sensor untuk setiap kopi film, trailer serta film iklan, dan tanda tidak lulus sensor yang dibubuhkan pada reklame film, yang dinyatakan tidak lulus sensor;
  2. menetapkan penggolongan usia penonton film;
  3. menyimpan dan/atau memusnahkan potongan film hasil penyensoran dan film serta rekaman video impor yang sudah habis masa hak edarnya;
  4. mengumumkan film impor yang ditolak.
3.  Keterkaitan antara Hak Cipta dan Lembaga Sensor Film
Film sebagai karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang – dengar (audiovisual), pembinaan dan pengembangannya diarahkan untuk mampu mengarahkan nilai-nilai budaya bangsa, maka pengaturan perfilman sebagai hasil dan sekaligus cermin budaya perlu diarahkan sehingga mampu memperkuat upaya pembinaan kebudayaan nasional. Pengaturan perfilman bukan saja dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah dan kualitas produksi film dalam fungsinya sebagai komoditi ekonomi, tetapi juga mengukuhkan fungsi sebagai sarana penerangan, pendidikan, dan hiburan.

Oleh karena itu, untuk mencegah dampak negatif yang ditimbulkan akibat pengaruh dari film, perlu dilakukan suatu penyensoran bagi film-film yang dianggap tidak etis dan bertentangan dengan tata nilai bangsa Indonesia dan norma-norma Pancasila. Dalam hal ini, Lembaga Sensor Film (LSF) yang berwenang melakukan penyensoran terhadap film, dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukan, dan/atau ditayangkan kepada umum. Selanjutnya LSF meneliti, dan menilai tema, gambar, adegan, suara, dan teks, serta menilai layak tidaknya tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan dari suatu film dan reklame yang akan diedarkan, dipertunjukkan, dan/atau ditayangkan.


Film juga merupakan sebuah karya cipta, yang tentu saja memiliki hak cipta. Walaupun hak cipta sudah diatur dalam undang-undang hak cipta, namun pembajakan film masih marak terjadi dan tidak bisa dikendalikan. Lihat saja lapak CD bajakan di pinggiran jalan, anda bisa menemukan banyak film yang dibajak.
Lembaga Sensor Film memang bukan lembaga yang khusus untuk memecahkan masalah ini, namun memiliki peran untuk setidaknya melindungi elemen-elemen dari suatu film yang notabene-nya sebuah karya cipta. Lembaga sensor film berhak melarang film yang sebagian elemennya mengandung pelanggaran hak cipta, misalnya penggunaan soundtrack film tanpa seizin si pencipta lagu tersebut. Dengan kebijakan ini, si empunya lagu bisa terlindungi hak ciptanya, karena kemungkinan lagunya dibajak menjadi semakin kecil.
Soal pembajakan film, Indonesia, bahkan dunia, memang tidak bisa berbuat banyak untuk melawan pembajakan. Karena melawan pembajakan sama saja dengan melawan kemajuan teknologi. Insan perfilman hanya bisa meminimalisir peluang pembajakan film dengan prosedur distribusi yang ketat. Misalnya seperti yang dilakukan Mira Lesmana untuk film Laskar Pelangi. Ia tak pernah mengunggah bahan filmnya di internet, walaupun hanya digest atau teasernya saja. Dan hasilnya, bajakan Laskar Pelangi sangat jarang ditemui.
Lembaga Sensor Film harusnya juga membantu dunia perfilman untuk melawan pembajakan, karena tugas mereka yang berkaitan erat dengan elemen-elemen suatu film yang merupakan suatu karya cipta.

A.                     Kesimpulan

Hak cipta adalah hak yang dimiliki karya cipta apapun, termasuk dalam dunia penyiaran dan film. Hak cipta adalah wujud apresiasi terhadap sebuah karya dan proses membuat karya tersebut. Hak cipta, dalam teorinya, adalah hak yang melindungi setiap karya buatan insan kreatif, hak untuk membatasi pembajakan karya cipta, dan semua orang harus menghormati hak ini

Lembaga Sensor Film adalah satu lembaga yang berperan penting dalam mempertahankan esensi sebuah film. Lembaga Sensor Film bertugas untuk menyunting dan memotong adegan yang dirasa kurang pantas ditayangkan dan mengurangi esensi film tersebut. Secara teoritis, LSF berfungsi sebagai alat control film, menjadikan film tetap sebagai tontonan yang menghibur, mendidik, dan inspiratif

B.                Saran

·                    Pembajakan memang tidak bisa dihindari, apalagi dihentikan. Namun pembajakan bisa dikurangi dengan mempersempit peluang sebuah karya untuk disebarkan. Penulis berharap para insan kreatif seketat mungkin menjaga karyanya, agar hak cipta bisa ditegakkan.
·                    Penulis menyarankan agar para pembajak memakai hati nuraninya untuk mengerti bagaimana proses sebuah karya diciptakan. Pembajakan memang sudah menjadi hal yang sangat mudah dewasa ini, kemajuan teknologi sangat memungkinkan suatu karya dapat diperbanyak dan disebarkan dengan sangat mudah. Jadi penulis hanya bisa menyarankan para pembajak untuk menggunakan hati nurani mereka, dan rasa toleransi terhadap sesama kreator karya
·                    Hendaknya lembaga sensor film tidak memilih-milih bagian film yang akan disensor. LSF harus tetap independen, sehingga berfungsi sepenuhnya sebagai lembaga independen pengontrol kualitas film


[1] Tim Lindsey et. all, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung: Alumni, 2003, hal 6.
[2] Rachmadi Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual Perlindungan Dan Dimensi Hukumnya Di Indonesia,  Bandung: Alumni, 2003, hal 86.
[3] Eddy Damian, Hukum Hak Cipta UUHC No.19 Tahun 2002, Bandung: Alumni, 2004, hal 98.
[4] Ibid, hal 98.
[5] Junus , E., Aspek Hukum dalam Sengketa Hak kekayaan intelektual teori dan praktek , 2003



Semoga Bermanfaat ...
nb : dont forget to comment every artikel of my blog



2 komentar: